Kertas dan Hancurnya Peradaban Buku
Oleh Uripa
gambar diambil dari blog.mizanstore.com
Luka,
kepulan asap tebal hiasi dinding-dinding bangunan tua. Hujan abu basahi tanah
Baghdad, ingatan tinggallah menjadi puing-puing kenangan; buku. Api serupa duka
yang menjelma trauma, sedang lupa adalah kutukan yang paling mengerikan. Ruang
segala tahu menjadi kosong, lembaran-lembaran terbang kedinginan. Tahun 2003,
di mana peradaban dihancurkan dengan cara dibakar, dan perusakan museum-museum
terjadi.
Aktivitas
tulis menulis sudah dimulai dan ada sejak zaman kuno, pada zaman Yunani banyak
karya yang ditulis di papirus. Papirus sendiri adalah tanaman air
yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan kertas. Kemunculan tulisan adalah
dorongan utama terciptanya sebuah buku, untuk bahan bacaan dan wawasan
(ingatan, read) bagi umat manusia.
Buku menurut
Fernando Baez adalah perlembagaan ingatan bagi konsekrasi dan permanensi, buku
juga dapat memberi wadah bagi ingatan manusia. Oleh karena itu, menurut Baez
buku harus dipelajari sebagai kepingan kunci dan sebuah warisan budaya dalam
suatu masyarakat.
Sayangnya,
akhir-akhir ini banyak terjadi penghancuran buku dan penyitaan bahan bacaan
yang dianggap berisi penyimpangan. Khususnya di Indonesia, bulan kemarin ada
dua toko buku di dua tempat berbeda yakni di Kediri Jawa Timur dan Padang
Sumatera Barat. Buku-buku yang ada di toko daerah tersebut disita oleh aparat
setempat karena dianggap berisikan aliran kiri atau paham komunisme
yang menyimpang. Hal tersebut sangat disayangkan, karena pemerintah sendiri
tidak mendukung gerakan literasi, baik itu penjual buku maupun komunitas baca
sebagai wadah untuk menumbuhkan minat baca. Bahkan bukan hanya buku yang disita
akan tetapi kegiatan membaca yang dilakukan komunitas di Mataram ditutup paksa
dengan dalih melanggar peraturan tentang tata ruang publik.
Membaca adalah
Melawan!
Membaca
adalah melawan, banyak buku-buku sejarah diputar balikan, generasi kita secara
tidak langsung dikerdilkan dengan penghancuran, penyitaan dan penyabotasean
terhadap gerakan membaca sebagai upaya untuk merawat ingatan. Sejak dulu,
kegiatan membaca dan perkembangan buku tidak selalu berjalan mulus. Kejadian
penghancuran banyak terjadi, kegiatan tersebut sudah ada sejak zaman dulu
hingga sekarang, sehingga tidaklah mengherankan. Karena sifat buku atau kertas
yang mudah untuk dihancurkan. Akan tetapi lebih dari itu, penghancuran buku
pada dasarnya bukan dilihat dari kerusakan fisik, melainkan menghentikan atau
mematikan ingatan pada diri manusia yaitu dengan cara penyitaan buku-buku bersejarah,
penyabotasean kegiatan membaca.
Jadi, musuh
terbesar dari buku adalah bukan hanya api, air, peperangan, bencana, juga
pemerintah atau penguasa yang melarang suatu generasi bangsa untuk membaca buku
sebagai jalan menuju cakrawala. Lalu, adakah yang lebih mengerikan selain dari
matinya peradaban buku?
Tantangan
baru bagi perkembangan buku adalah teknologi yang semakin maju dengan berbagai
konektifitas jaringan internet yang semakin cepat. Kemunculan e-book mempengaruhi
ketersedian buku cetak dan kegemaran membaca buku. Dunia yang semakin maju
dengan segala fitur sosial media mampu mengeser orang-orang untuk membaca buku
cetak, koran, majalah dan lain sebagainya. Hal tersebut mungkin dengan mudah
mendapatkan informasi dan wawasan tentang dunia luar, akan tetapi hal tersebut
juga menjadi sangat berbahaya jika tidak secara cerdas menyaring informasi yang
ada.
Era digital
penting bagi sebuah negara agar mampu bersaing dengan negara lain, akan tetapi
perlu diingat bahwa bangsa kita lahir dari orang-orang yang memiliki kecerdasan
dalam membaca dan gerakan tulis menulis. Gerakan tulis menulis di Indonesia
sejak dulu sudah banyak dilakukan dan hal tersebut merupakan suatu warisan
budaya yang perlu dilestarikan. Naskah yang ditulis adalah wujud nyata dari
sebuah berdirinya bangsa dengan segala kearifannya. Bahkan semboyan bangsa
Indonesia Bhineka Tunggal Ika adalah hasil dari pemikiran orang
Jawa yang menuliskannya di sebuah naskah kuno.
Sutasoma adalah kitab
atau naskah kuno yang ditulis oleh Mpu Tantular, yang setelah enam abad
kata-kata Bhineka Tunggal Ika dalam kitab tersebut, digunakan
oleh para pendiri bangsa sebagai suatu semboyan negara baru yakni Indonesia
yang merdeka di era modern. Gerakan literasi bukan hanya membaca, melainkan
juga mampu menjaga dan melestarikan serta berperan aktif terhadap perawatan
naskah-naskah kuno yang tersebar di penjuru Indonesia. Keberadaan naskah-naskah
kuno penting untuk dikaji bukan hanya sebagai bahan telaah akademis, akan
tetapi juga sebagai salah satu pengingat bahwa bangsa kita memiliki warisan
kebudayaan yang beraneka ragam, dan semua itu terkandung dalam naskah kuno.
Sejarah
tidak kalah penting untuk kita rawat dalam ingatan, tradisi lisan yang sudah
semakin hilang. Maka melalui buku dan naskah kuno yang berisi sejarah dapat
kita baca dan menelusuri kembali kebenarannya. Oleh karena itu, tantangan yang
sebenarnya adalah melawan lupa terhadap sejarah bangsanya sendiri dengan tidak
membaca buku. Karena lupa adalah kutukan yang paling mengerikan, dan membaca
adalah salah satu kegiatan perawatan ingatan terhadap warisan budaya dalam
suatu masyarakat. Mari membaca buku dan melawan lupa!
Comments
Post a Comment